Jejak-jejak Cirebon secara sosio-kultural di beberapa desa yang ada di tiga kecamatan (Krangkeng, Karangampel, Juntinyuat) hingga kini masih terasa. Yang paling kentara adalah dalam penggunaan kosakata isun (saya) masih tetap dipergunakan (terutama di beberapa desa di Kecamatan Krangkeng, perbatasan Kabupaten Cirebon-Indramayu) dibandingkan penggunaan reang atau kita sebagaimana digunakan secara umum di wilayah kecamatan lainnya. Begitu pula penggunaan kata tunjuk untuk menunjukkan yang jauh, agak dekat, dan dekat, masih tetap menggunakan lah, lih, dan luh. Bukan kah, kih, dan kuh. Pamakaian kosakata seperti itu serupa yang dipakai di Cirebon.
Dalam
buku ”Mengenal Kasultanan Kasepuhan Cirebon” (2004) malah ditegaskan, pada abad
ke-14 batas pemukiman baru di Lemahwungkuk (cikal bakal Caruban/Cirebon) yang
dipimpin Ki Gede Alang-alang yang diangkat Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi
adalah Kali Cipamali (sebelah timur), Cigugur Kuningan (sebelah selatan),
pegunungan Kromong (sebelah barat), dan Junti (sebelah utara).
Akan
halnya Junti, daerah ini disebut-sebut dalam cerita tradisional Cirebon dalam
episode kedatangan Dampu Awang, seorang pedagang dari Cina yang beragama Islam.
Tokoh ini identik dengan Sam Po Kong atau Sam Po Toa Lang atau Sam Po Toa Jin
atau Sam Po Bo (P.S. Sulendraningrat, 1975; H.A. Dasuki, 1977). Dalam
perjalanan di Pulau Jawa, Dampu Awang tertarik putri Ki Gedeng Junti, tetapi
cintanya itu bertepuk sebelah tangan. Ia memaksa. Ki Gedeng Junti menolak halus
lamarannya, kemudian membuat strategi dengan mengadakan sayembara. Jika Dampu
Awang mampu merobohkan bambu ori yang tebalnya dua meter dan tingginya tiga
meter yang mengelilingi rumah Ki Gedeng Junti dalam waktu satu malam, lamaran
itu akan diterima. Dampu Awang menggunakan akalnya. Ia umumkan kepada rakyat
untuk menaburkan emas di tembok bambu itu. Rakyat berebut emas dengan berbagai
cara. Pagar bambu pun porak-poranda. Ki Gedeng Junti dan putrinya menolak tipu
muslihat ini, lalu lari dan meminta perlindungan Syeh Bentong, seorang wali di
Kesenden Cirebon. Dampu Awang mengejar dan bentrok dengan Syeh Bentong. Dampu
Awang kalah, lalu lari ke Palembang. Syeh Bentong menikah dengan Putri Junti,
selanjutnya rakyat Junti memeluk agama Islam mengikuti ajaran Syeh Bentong.
Kronologis
dalam cerita babad seperti itu tampaknya terjadi di mana-mana. Ada tema cinta
ditolak, strategi menolak lamaran secara halus, dan waktu semalam sebagai
syarat lamaran diterima. Pada legenda Sangkuriang-Dayang Sumbi juga demikian.
Syarat cinta diterima itu adalah agar dibuatkan sebuah perahu dalam waktu
semalam. Begitu pula Roro Jonggrang yang minta dibuatkan seribu candi dalam
waktu semalam.
Perspektif
lain tentang Dampu Awang ini tidak menyentuh sama sekali daerah Junti. Tahun
1418 Dampu Awang (mungkin nama aslinya Ma Huang) bersama istrinya, Nhay Rara
Ruda (kakak perempuan Ki Gedeng Tapa) bersama-sama pula Nhay Aci Putih dan Nhay
Subang Larang pergi berlayar dari negeri Singapura (nama salah satu negeri di
Cirebon) ke Malaka. Apakah bertolak dari Celangcang atau Muara Bondet atau dari
Muara Jati, tidak jelas. Menurut cerita rakyat, Celangcang adalah pelabuhan
zaman dahulu, yang namanya berasal dari kata nyangcang, artinya mengikat atau
menambat perahu. Yang ditambat adalah perahu Dampu Awang, karena lebih besar
dibanding perahu-perahu lainnya (Sunardjo, 1983).
Jejak
Indramayu secara geografis memang hanya diketemukan pada naskah-naskah dengan
derajat sebagai sumber sekunder, seperti sumber-sumber di atas, kecuali
Regerings Almanak voor Nederlands Indie 1869. Hal ini bisa jadi merupakan
sebuah fenomena kelangkaan sumber primer, karena “terjepit”-nya masa-masa
dinamis itu. Penulis sejarah Jawa Hindu yang telah silam umumnya sudah berhenti
menulis, jauh sebelum sampai pada tokoh Senopati; sedangkan ahli sejarah
Kompeni hampir tidak menyadari bahwa para pahlawan negerinya telah mengganggu
perkembangan suatu kerajaan Jawa yang perkasa.
Abad
XVI menjadi anak tiri yang terlantar dalam sejarah Jawa, terhimpit antara dua
bidang penelitian yang besar dan banyak tuntutannya: arkeologi Jawa dan sejarah
kolonial. Ahli sejarah Islam yang mendalami sejarah kerajaan Islam, menjauhi
masalah yang menarik itu. Ahli sejarah Jawa lebih tertarik pada sejarah
tertulis yang lebih tua daripada masa Mataram Baru. Hanya beberapa orang saja,
seperti Brandes dan Rouffaer yang mendalami satu dua masalah dari masa yang
gelap ini (H.J. de Graff, cet.kedua, 1987).
Meski
dalam historiografi tradisional menyebutkan nama Dermayu mulai digunakan sejak
abad ke-16 atau ke-17, siapa sangka jika sebagian wilayahnya (sebelah timur
sungai Cimanuk) pada jaman pemerintahan Belanda abad ke-19, nama yang muncul
adalah Bengawan wettan, salah satu dari lima keregenan (regentschappen) di
bawah Keresidenan Cheribon, selain Kereganan Cheribon, Madja, Galo, dan
Koeningan (besluit van commissarissen-general over Nederlandsch-Indie, tanggal
5 Januari 1819). Keregenan Bengawan wettan meliputi sungai Singapura, dari
muara sungai di laut ke arah atas sampai jalan pos di Desa Jamblang, jalan ini
ke barat sampai sungai Cimanuk di penyebrangan di Karangsambung, selanjutnya
sungai Cimanuk ini sampai muaranya ke laut.
Peristiwa
“Pemberontakan Bagus Rangin” di sekitar Bantarjati-Jatitujuh pada awal abad
ke-19 agaknya menyiratkan wilayah tersebut sebagai bagian Kabupaten Indramayu
(Bengawan wettan).
Jika
dilihat pada era kekinian, sebenarnya wilayah Indramayu sekarang selain
bertambah, sebenarnya juga berkurang. Di bagian tenggara Kabupaten Indramayu,
sekitar perbatasan Kecamatan Bangodua, beberapa desa bukan lagi milik
Indramayu. Dulu, konon Kecamatan Jatitujuh dan sekitarnya pernah masuk dalam
wilayah Kabupaten Indramayu. Kini di wilayah perbatasan kultural Sunda-Jawa itu
sudah masuk Kabupaten Majalengka. Tidak heran jika hubungan emosional desa-desa
di sekitar itu tetap ada. Ragam budaya, seperti jenis kesenian dan
adat-istiadat pun menampakkan kecenderungan yang seragam. Tarling, topeng,
wayang kulit –yang merupakan jenis kesenian Jawa-pesisir Cirebon-Indramayu,
biasa dinikmati masyarakat Jatitujuh, yang juga menikmati kesenian Sunda.
Dasuki
(1977) menjelaskan setelah tahun 1910 daerah Indramayu sebelah barat sungai
Cimanuk dibagi dalam enam kedemangan, yaitu Kedemangan Kandanghaur, Losarang,
Pamayahan, Pasekan, Bangodua, Jatitujuh, dan Lelea. Adapun daerah Indramayu
sebelah timur Cimanuk dibagi dalam tiga kawedanan yaitu Kawedanan Indramayu,
Karangampel, dan Sleman (Jatibarang).
Di
wilayah selatan, barat daya hingga barat Kabupaten Indramayu, yang berbatasan
langsung dengan wilayah kultural Sunda, pengaruh kebudayaan Sunda sangat kuat.
Di sebagian desa di Kecamatan Terisi hingga Haurgeulis dan Gantar, pengaruh itu
malah memiliki asal-usul penduduk yang memang berasal dari wilayah Sunda.
Komunikasi sosial dan kultural itu terjalin hingga kini menjadi sebuah
akulturasi yang Dermayu. [Bagian sebelumnya klik disini]
Sumber : Komunitas Orang Indramayu [Facebook]
Sumber : Komunitas Orang Indramayu [Facebook]
No comments:
Post a Comment