Sebenarnya ada pengaruh kultur lain yang juga amat kuat, yang ada di wilayah barat (seperti di Kecamatan Bongas, Patrol, Sukra, Anjatan, dan Haurgeulis). Pengaruh itu berasal dari pesisir utara-barat Jawa Tengah (Tegal-Brebes). Mungkin lebih tepatnya bukan pengaruh, tetapi lebih sebagai “urbanisasi” awal abad ke-20 melalui jalur kereta api dari Tegal-Brebes ke wilayah barat Indramayu. Penduduk dari wilayah timur Indramayu juga pada kurun waktu yang sama melakukan “urbanisasi” ke barat, seperti dari Krangkeng, Juntinyuat, Sliyeg, Kertasemaya, dan kecamatan lainnya. Saat itu wilayah barat memiliki daya tarik tersendiri, terutama tanah yang masih perawan dan ketersediaan air yang melimpah dengan adanya bendungan yang dibangun pemerintah kolonial Belanda dekade 1920-an. Pengaruh bahasa Jawa dialek Tegal-Brebes dan logat wilayah timur Indramayu masih terasa hingga kini.
Yang
menjadi catatan tersendiri adalah wilayah Kecamatan Lelea dan Kandanghaur, yang
secara geografis terlalu “jauh” untuk dipengaruhi kultur Sunda. Hingga kini
pengaruh Sunda di beberapa desa di dua kecamatan tersebut cukup kuat. Meski
dalam beberapa kosa kata tidak sama dengan bahasa Sunda di wilayah Pasundan dan
cenderung dianggap kasar, bahasa Sunda tetap digunakan dalam keseharian di
wilayah tersebut. Sunda-Lea dan Sunda-Parean (maksudnya bahasa Sunda yang
digunakan di Lelea dan Parean/Kandanghaur), menjadi keunikan tersendiri dalam
khazanah bahasa Sunda dan bisa jadi merupakan bahasa Sunda sempalan yang hidup
di lingkungan Jawa-pesisir. Fenomena ini, tentu saja, bukan terjadi dengan
sendirinya. Sesuatu yang ada sekarang, hampir pasti memiliki keterkaitan dengan
masa lalu. Masa lalu itu adalah akar sejarah.
Selanjutnya
daerah kekuasaan Sumedang di sebelah utara seperti Kandanghaur, Lelea, dan
Haurgeulis (Indramayu), dan Sindangkasih (Majalengka) satu demi satu dikuasai
kerajaan Islam Cirebon. Dalam menakulukkan daerah Sindangkasih dan Kandanghaur
ini banyak berperan dua orang cucu Sunan Gunung Jati: Pangeran Sentana Panjunan
dan Pangeran Wira Panjunan. Daerah Galuh dan Sumedang sendiri tetap merdeka
sehingga ditundukkan oleh Sultan Agung Mataram yang berhasil menguasai antara
Citanduy dan Cisadane pada tahun 1620 (Rokhmin Dahuri, Bambang Irianto, dan Eva
Nur Arofah, 2004).
Penjelasan
Sumedang pernah menguasai tiga daerah di Indramayu, yakni Kandanghaur, Lelea,
dan Haurgeulis setidak-tidaknya tampak pada kultur yang masih lekat hingga
kini, yakni bahasa Sunda. Ketika beralih pada kekuasaan Cirebon, ada
peninggalan di Kandanghaur yang bisa jadi berasal dari nama seorang pangeran
asal Cirebon, yakni nama desa, Wirapanjunan. Kurun waktu kekuasaan Cirebon atas
tiga daerah di Indramayu saat Cirebon mencapai puncak kejayaan, sebagaimana
dikemukakan R.A. Kern (1973: 21), yang diperkuat F. de Haan (1912: 33-41) bahwa
Cirebon telah berhasil melebarkan wilayah kekuasaan dan sekaligus dapat
mengislamkan daerah-daerah pedalaman Sunda, seperti Rajagaluh (1528) dan Talaga
(1530) (Rokhmin Dahuri, dkk, 2004: 62).
Jangan
lupa wilayah sentral Indramayu, tempat dikendalikannya pemerintahan, yakni
Kecamatan Indramayu dan Sindang, merupakan lingkungan “keraton” dan “ibukota”
yang dibangun Wiralodra. Wilayah yang secara arkeologis cenderung sebagai kota
pemerintahan bercorak Islam-Jawa. Sungai Cimanuk yang membelah kedua kecamatan
itu juga, sebenarnya dulu menjadi urat nadi perekonomian dan militer, yang
hilirnya adalah pelabuhan. Kompleks pecinan dan perkampungan arab yang ada di
sekitarnya menjadi penanda tersendiri akan keberadaan masa lalu itu.
Satu
hal yang belum dikemukakan adalah wilayah pesisir Indramayu yang kini
terbentang di 12 kecamatan, dengan panjang pantai mencapai 114 km. Dengan
keluasan Laut Jawa yang menjadi gerbangnya, sangat mungkin menjadi pintu masuk
akan berbagai pengaruh sosial, ekonomi, budaya, dan agama dari berbagai daerah
dan bangsa. Agak serius untuk mendiskusikan hal ini lebih jauh. Yang jelas
adanya kerajinan batik di Paoman yang motifnya serupa dengan Lasem (Rembang),
kerajinan gerabah di blok Anjun (Paoman) dan Wirapanjunan (Kandanghaur) juga
memiliki nama sama dengan lokasi kerajinan gerabah di Panjunan (Cirebon).
Hal
di atas bisa dihubungkan dengan kedatangan Syarif Abdurrakhman beserta ketiga
adiknya di Cirebon pada tahun 1464. Mereka adalah putra-putra Sultan Sulaeman
dari Baghdad, Irak, yang berguru kepada Syeh Nurul Jati dan Mbah Kuwu
Cakrabuana. Mereka kemudian menetap di Panjunan. Nama panjunan itu berasal dari
anjun, barang-barang keramik yang terbuat dari tanah liat.
Beliau
besarta pengikutnya menyebarkan agama Islam, membangun mesjid, dan juga
mengerjakan sebuah karya anjun yaitu membuat barang-barang keramik dari tanah
liat. Dari sinilah tempat itu disebut panjunan. Beliau juga membuat taman lelangu
/ taman untuk istirahat dan penenang hati memandang ke alam bebas / panorama
gunung Ciremai. Dari sinilah tempat itu disebut Plangon (kawasan Kecamatan
Sumber Kabupaten Cirebon). Di sini pulalah makam beliau (P.S. Sulendraningrat,
1975).
Rumah-rumah
penduduk di Junti yang bergaya Majapahit menandaskan keterpengaruhan itu.
Nama-nama desa di pesisir Indramayu juga menyiratkan keterpengaruhan nama dari
luar. Antara Karangampel-Balongan, misalnya, ada lima nama yang juga memiliki
kesamaan dengan nama di Jawa Timur, yaitu seperti Kamal, Tuban, Sampang,
Lombang, dan Majakerta.
Keterkaitan
dengan Majapahit ini bisa jadi karena ekspansi kerajaan besar tersebut ke
seluruh nusantara saat Prabu Hayam Wuruk berkuasa dengan Mahapatih Gajah Mada
pada abad ke-14. Data yang paling dekat adalah pada abad ke-15 atau antara taun
1491 dan 1492, yaitu adanya perkawinan Sunan Gunung Jati dengan Nyai Ageng
Tepasari, putri Ki Ageng Tepasan, mantan penguasa di daerah Majapahit yang
kemudian ikut Raden Patah, Sultan Demak. Dari perkawinan Sunan Gunung Jati
dengan Nyi Ageng Tepasari dikaruniai dua anak, yaitu Nhay Ratu Ayu dan Pangeran
Mohamad Arifin (Pangeran Pasarean) (Dasuki 1977; Sunardjo, 1983).
Melihat
wilayah sosio-kultural yang terpotret sekarang ini, sekali lagi, bukan sebuah
kejadian yang berdiri sendiri. Ada pengaruh dari benang merah masa lalu yang
bernama sejarah. Masalah yang muncul, apakah benar Indramayu, yang terbentang
dari Sukra-Gantar hingga Kertasemaya-Krangkeng, yang pernah berhubungan dengan
Pajajaran, Demak, Cirebon, Sumedanglarang, Galuh, Banten, Mataram, bahkan
bangsa asing, yang memiliki latar sosio-kultur yang tidak “tunggal”, hanyalah
pengaruh Wiralodra semata? Selama ini pengungkapan sejarah di Indramayu lebih
banyak berdasarkan terjemahan dan tafsir naskah-naskah tradisional, yang
merupakan sumber sekunder. Sebuah pengungkapan yang cenderung hanya sampai pada
ranah dan perspektif sebagai sejarah peteng, yang bisa ditafsirkan sebagai
kegelapan sejarah karena belum ada relasi yang tegas dengan sumber-sumber
primer.
Sumber: Komunitas Orang Indramayu [Facebook]
Sumber: Komunitas Orang Indramayu [Facebook]
No comments:
Post a Comment