Sejarah Indramayu
Bagian - 4 atau Terakhir
Sebenarnya ada pengaruh kultur lain yang juga amat kuat, yang ada di wilayah barat (seperti di Kecamatan Bongas, Patrol, Sukra, Anjatan, dan Haurgeulis). Pengaruh itu berasal dari pesisir utara-barat Jawa Tengah (Tegal-Brebes). Mungkin lebih tepatnya bukan pengaruh, tetapi lebih sebagai “urbanisasi” awal abad ke-20 melalui jalur kereta api dari Tegal-Brebes ke wilayah barat Indramayu. Penduduk dari wilayah timur Indramayu juga pada kurun waktu yang sama melakukan “urbanisasi” ke barat, seperti dari Krangkeng, Juntinyuat, Sliyeg, Kertasemaya, dan kecamatan lainnya. Saat itu wilayah barat memiliki daya tarik tersendiri, terutama tanah yang masih perawan dan ketersediaan air yang melimpah dengan adanya bendungan yang dibangun pemerintah kolonial Belanda dekade 1920-an. Pengaruh bahasa Jawa dialek Tegal-Brebes dan logat wilayah timur Indramayu masih terasa hingga kini.
Sebenarnya ada pengaruh kultur lain yang juga amat kuat, yang ada di wilayah barat (seperti di Kecamatan Bongas, Patrol, Sukra, Anjatan, dan Haurgeulis). Pengaruh itu berasal dari pesisir utara-barat Jawa Tengah (Tegal-Brebes). Mungkin lebih tepatnya bukan pengaruh, tetapi lebih sebagai “urbanisasi” awal abad ke-20 melalui jalur kereta api dari Tegal-Brebes ke wilayah barat Indramayu. Penduduk dari wilayah timur Indramayu juga pada kurun waktu yang sama melakukan “urbanisasi” ke barat, seperti dari Krangkeng, Juntinyuat, Sliyeg, Kertasemaya, dan kecamatan lainnya. Saat itu wilayah barat memiliki daya tarik tersendiri, terutama tanah yang masih perawan dan ketersediaan air yang melimpah dengan adanya bendungan yang dibangun pemerintah kolonial Belanda dekade 1920-an. Pengaruh bahasa Jawa dialek Tegal-Brebes dan logat wilayah timur Indramayu masih terasa hingga kini.
Yang
menjadi catatan tersendiri adalah wilayah Kecamatan Lelea dan Kandanghaur, yang
secara geografis terlalu “jauh” untuk dipengaruhi kultur Sunda. Hingga kini
pengaruh Sunda di beberapa desa di dua kecamatan tersebut cukup kuat. Meski
dalam beberapa kosa kata tidak sama dengan bahasa Sunda di wilayah Pasundan dan
cenderung dianggap kasar, bahasa Sunda tetap digunakan dalam keseharian di
wilayah tersebut. Sunda-Lea dan Sunda-Parean (maksudnya bahasa Sunda yang
digunakan di Lelea dan Parean/Kandanghaur), menjadi keunikan tersendiri dalam
khazanah bahasa Sunda dan bisa jadi merupakan bahasa Sunda sempalan yang hidup
di lingkungan Jawa-pesisir. Fenomena ini, tentu saja, bukan terjadi dengan
sendirinya. Sesuatu yang ada sekarang, hampir pasti memiliki keterkaitan dengan
masa lalu. Masa lalu itu adalah akar sejarah.
Selanjutnya
daerah kekuasaan Sumedang di sebelah utara seperti Kandanghaur, Lelea, dan
Haurgeulis (Indramayu), dan Sindangkasih (Majalengka) satu demi satu dikuasai
kerajaan Islam Cirebon. Dalam menakulukkan daerah Sindangkasih dan Kandanghaur
ini banyak berperan dua orang cucu Sunan Gunung Jati: Pangeran Sentana Panjunan
dan Pangeran Wira Panjunan. Daerah Galuh dan Sumedang sendiri tetap merdeka
sehingga ditundukkan oleh Sultan Agung Mataram yang berhasil menguasai antara
Citanduy dan Cisadane pada tahun 1620 (Rokhmin Dahuri, Bambang Irianto, dan Eva
Nur Arofah, 2004).
Penjelasan
Sumedang pernah menguasai tiga daerah di Indramayu, yakni Kandanghaur, Lelea,
dan Haurgeulis setidak-tidaknya tampak pada kultur yang masih lekat hingga
kini, yakni bahasa Sunda. Ketika beralih pada kekuasaan Cirebon, ada
peninggalan di Kandanghaur yang bisa jadi berasal dari nama seorang pangeran
asal Cirebon, yakni nama desa, Wirapanjunan. Kurun waktu kekuasaan Cirebon atas
tiga daerah di Indramayu saat Cirebon mencapai puncak kejayaan, sebagaimana
dikemukakan R.A. Kern (1973: 21), yang diperkuat F. de Haan (1912: 33-41) bahwa
Cirebon telah berhasil melebarkan wilayah kekuasaan dan sekaligus dapat
mengislamkan daerah-daerah pedalaman Sunda, seperti Rajagaluh (1528) dan Talaga
(1530) (Rokhmin Dahuri, dkk, 2004: 62).
Jangan
lupa wilayah sentral Indramayu, tempat dikendalikannya pemerintahan, yakni
Kecamatan Indramayu dan Sindang, merupakan lingkungan “keraton” dan “ibukota”
yang dibangun Wiralodra. Wilayah yang secara arkeologis cenderung sebagai kota
pemerintahan bercorak Islam-Jawa. Sungai Cimanuk yang membelah kedua kecamatan
itu juga, sebenarnya dulu menjadi urat nadi perekonomian dan militer, yang
hilirnya adalah pelabuhan. Kompleks pecinan dan perkampungan arab yang ada di
sekitarnya menjadi penanda tersendiri akan keberadaan masa lalu itu.
Satu
hal yang belum dikemukakan adalah wilayah pesisir Indramayu yang kini
terbentang di 12 kecamatan, dengan panjang pantai mencapai 114 km. Dengan
keluasan Laut Jawa yang menjadi gerbangnya, sangat mungkin menjadi pintu masuk
akan berbagai pengaruh sosial, ekonomi, budaya, dan agama dari berbagai daerah
dan bangsa. Agak serius untuk mendiskusikan hal ini lebih jauh. Yang jelas
adanya kerajinan batik di Paoman yang motifnya serupa dengan Lasem (Rembang),
kerajinan gerabah di blok Anjun (Paoman) dan Wirapanjunan (Kandanghaur) juga
memiliki nama sama dengan lokasi kerajinan gerabah di Panjunan (Cirebon).
Hal
di atas bisa dihubungkan dengan kedatangan Syarif Abdurrakhman beserta ketiga
adiknya di Cirebon pada tahun 1464. Mereka adalah putra-putra Sultan Sulaeman
dari Baghdad, Irak, yang berguru kepada Syeh Nurul Jati dan Mbah Kuwu
Cakrabuana. Mereka kemudian menetap di Panjunan. Nama panjunan itu berasal dari
anjun, barang-barang keramik yang terbuat dari tanah liat.
Beliau
besarta pengikutnya menyebarkan agama Islam, membangun mesjid, dan juga
mengerjakan sebuah karya anjun yaitu membuat barang-barang keramik dari tanah
liat. Dari sinilah tempat itu disebut panjunan. Beliau juga membuat taman lelangu
/ taman untuk istirahat dan penenang hati memandang ke alam bebas / panorama
gunung Ciremai. Dari sinilah tempat itu disebut Plangon (kawasan Kecamatan
Sumber Kabupaten Cirebon). Di sini pulalah makam beliau (P.S. Sulendraningrat,
1975).
Rumah-rumah
penduduk di Junti yang bergaya Majapahit menandaskan keterpengaruhan itu.
Nama-nama desa di pesisir Indramayu juga menyiratkan keterpengaruhan nama dari
luar. Antara Karangampel-Balongan, misalnya, ada lima nama yang juga memiliki
kesamaan dengan nama di Jawa Timur, yaitu seperti Kamal, Tuban, Sampang,
Lombang, dan Majakerta.
Keterkaitan
dengan Majapahit ini bisa jadi karena ekspansi kerajaan besar tersebut ke
seluruh nusantara saat Prabu Hayam Wuruk berkuasa dengan Mahapatih Gajah Mada
pada abad ke-14. Data yang paling dekat adalah pada abad ke-15 atau antara taun
1491 dan 1492, yaitu adanya perkawinan Sunan Gunung Jati dengan Nyai Ageng
Tepasari, putri Ki Ageng Tepasan, mantan penguasa di daerah Majapahit yang
kemudian ikut Raden Patah, Sultan Demak. Dari perkawinan Sunan Gunung Jati
dengan Nyi Ageng Tepasari dikaruniai dua anak, yaitu Nhay Ratu Ayu dan Pangeran
Mohamad Arifin (Pangeran Pasarean) (Dasuki 1977; Sunardjo, 1983).
Melihat
wilayah sosio-kultural yang terpotret sekarang ini, sekali lagi, bukan sebuah
kejadian yang berdiri sendiri. Ada pengaruh dari benang merah masa lalu yang
bernama sejarah. Masalah yang muncul, apakah benar Indramayu, yang terbentang
dari Sukra-Gantar hingga Kertasemaya-Krangkeng, yang pernah berhubungan dengan
Pajajaran, Demak, Cirebon, Sumedanglarang, Galuh, Banten, Mataram, bahkan
bangsa asing, yang memiliki latar sosio-kultur yang tidak “tunggal”, hanyalah
pengaruh Wiralodra semata? Selama ini pengungkapan sejarah di Indramayu lebih
banyak berdasarkan terjemahan dan tafsir naskah-naskah tradisional, yang
merupakan sumber sekunder. Sebuah pengungkapan yang cenderung hanya sampai pada
ranah dan perspektif sebagai sejarah peteng, yang bisa ditafsirkan sebagai
kegelapan sejarah karena belum ada relasi yang tegas dengan sumber-sumber
primer.
Sumber: Komunitas Orang Indramayu [Facebook]
Sumber: Komunitas Orang Indramayu [Facebook]
Sejarah Indramayu
Bagian - 3
Jejak-jejak Cirebon secara sosio-kultural di beberapa desa yang ada di tiga kecamatan (Krangkeng, Karangampel, Juntinyuat) hingga kini masih terasa. Yang paling kentara adalah dalam penggunaan kosakata isun (saya) masih tetap dipergunakan (terutama di beberapa desa di Kecamatan Krangkeng, perbatasan Kabupaten Cirebon-Indramayu) dibandingkan penggunaan reang atau kita sebagaimana digunakan secara umum di wilayah kecamatan lainnya. Begitu pula penggunaan kata tunjuk untuk menunjukkan yang jauh, agak dekat, dan dekat, masih tetap menggunakan lah, lih, dan luh. Bukan kah, kih, dan kuh. Pamakaian kosakata seperti itu serupa yang dipakai di Cirebon.
Jejak-jejak Cirebon secara sosio-kultural di beberapa desa yang ada di tiga kecamatan (Krangkeng, Karangampel, Juntinyuat) hingga kini masih terasa. Yang paling kentara adalah dalam penggunaan kosakata isun (saya) masih tetap dipergunakan (terutama di beberapa desa di Kecamatan Krangkeng, perbatasan Kabupaten Cirebon-Indramayu) dibandingkan penggunaan reang atau kita sebagaimana digunakan secara umum di wilayah kecamatan lainnya. Begitu pula penggunaan kata tunjuk untuk menunjukkan yang jauh, agak dekat, dan dekat, masih tetap menggunakan lah, lih, dan luh. Bukan kah, kih, dan kuh. Pamakaian kosakata seperti itu serupa yang dipakai di Cirebon.
Dalam
buku ”Mengenal Kasultanan Kasepuhan Cirebon” (2004) malah ditegaskan, pada abad
ke-14 batas pemukiman baru di Lemahwungkuk (cikal bakal Caruban/Cirebon) yang
dipimpin Ki Gede Alang-alang yang diangkat Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi
adalah Kali Cipamali (sebelah timur), Cigugur Kuningan (sebelah selatan),
pegunungan Kromong (sebelah barat), dan Junti (sebelah utara).
Akan
halnya Junti, daerah ini disebut-sebut dalam cerita tradisional Cirebon dalam
episode kedatangan Dampu Awang, seorang pedagang dari Cina yang beragama Islam.
Tokoh ini identik dengan Sam Po Kong atau Sam Po Toa Lang atau Sam Po Toa Jin
atau Sam Po Bo (P.S. Sulendraningrat, 1975; H.A. Dasuki, 1977). Dalam
perjalanan di Pulau Jawa, Dampu Awang tertarik putri Ki Gedeng Junti, tetapi
cintanya itu bertepuk sebelah tangan. Ia memaksa. Ki Gedeng Junti menolak halus
lamarannya, kemudian membuat strategi dengan mengadakan sayembara. Jika Dampu
Awang mampu merobohkan bambu ori yang tebalnya dua meter dan tingginya tiga
meter yang mengelilingi rumah Ki Gedeng Junti dalam waktu satu malam, lamaran
itu akan diterima. Dampu Awang menggunakan akalnya. Ia umumkan kepada rakyat
untuk menaburkan emas di tembok bambu itu. Rakyat berebut emas dengan berbagai
cara. Pagar bambu pun porak-poranda. Ki Gedeng Junti dan putrinya menolak tipu
muslihat ini, lalu lari dan meminta perlindungan Syeh Bentong, seorang wali di
Kesenden Cirebon. Dampu Awang mengejar dan bentrok dengan Syeh Bentong. Dampu
Awang kalah, lalu lari ke Palembang. Syeh Bentong menikah dengan Putri Junti,
selanjutnya rakyat Junti memeluk agama Islam mengikuti ajaran Syeh Bentong.
Kronologis
dalam cerita babad seperti itu tampaknya terjadi di mana-mana. Ada tema cinta
ditolak, strategi menolak lamaran secara halus, dan waktu semalam sebagai
syarat lamaran diterima. Pada legenda Sangkuriang-Dayang Sumbi juga demikian.
Syarat cinta diterima itu adalah agar dibuatkan sebuah perahu dalam waktu
semalam. Begitu pula Roro Jonggrang yang minta dibuatkan seribu candi dalam
waktu semalam.
Perspektif
lain tentang Dampu Awang ini tidak menyentuh sama sekali daerah Junti. Tahun
1418 Dampu Awang (mungkin nama aslinya Ma Huang) bersama istrinya, Nhay Rara
Ruda (kakak perempuan Ki Gedeng Tapa) bersama-sama pula Nhay Aci Putih dan Nhay
Subang Larang pergi berlayar dari negeri Singapura (nama salah satu negeri di
Cirebon) ke Malaka. Apakah bertolak dari Celangcang atau Muara Bondet atau dari
Muara Jati, tidak jelas. Menurut cerita rakyat, Celangcang adalah pelabuhan
zaman dahulu, yang namanya berasal dari kata nyangcang, artinya mengikat atau
menambat perahu. Yang ditambat adalah perahu Dampu Awang, karena lebih besar
dibanding perahu-perahu lainnya (Sunardjo, 1983).
Jejak
Indramayu secara geografis memang hanya diketemukan pada naskah-naskah dengan
derajat sebagai sumber sekunder, seperti sumber-sumber di atas, kecuali
Regerings Almanak voor Nederlands Indie 1869. Hal ini bisa jadi merupakan
sebuah fenomena kelangkaan sumber primer, karena “terjepit”-nya masa-masa
dinamis itu. Penulis sejarah Jawa Hindu yang telah silam umumnya sudah berhenti
menulis, jauh sebelum sampai pada tokoh Senopati; sedangkan ahli sejarah
Kompeni hampir tidak menyadari bahwa para pahlawan negerinya telah mengganggu
perkembangan suatu kerajaan Jawa yang perkasa.
Abad
XVI menjadi anak tiri yang terlantar dalam sejarah Jawa, terhimpit antara dua
bidang penelitian yang besar dan banyak tuntutannya: arkeologi Jawa dan sejarah
kolonial. Ahli sejarah Islam yang mendalami sejarah kerajaan Islam, menjauhi
masalah yang menarik itu. Ahli sejarah Jawa lebih tertarik pada sejarah
tertulis yang lebih tua daripada masa Mataram Baru. Hanya beberapa orang saja,
seperti Brandes dan Rouffaer yang mendalami satu dua masalah dari masa yang
gelap ini (H.J. de Graff, cet.kedua, 1987).
Meski
dalam historiografi tradisional menyebutkan nama Dermayu mulai digunakan sejak
abad ke-16 atau ke-17, siapa sangka jika sebagian wilayahnya (sebelah timur
sungai Cimanuk) pada jaman pemerintahan Belanda abad ke-19, nama yang muncul
adalah Bengawan wettan, salah satu dari lima keregenan (regentschappen) di
bawah Keresidenan Cheribon, selain Kereganan Cheribon, Madja, Galo, dan
Koeningan (besluit van commissarissen-general over Nederlandsch-Indie, tanggal
5 Januari 1819). Keregenan Bengawan wettan meliputi sungai Singapura, dari
muara sungai di laut ke arah atas sampai jalan pos di Desa Jamblang, jalan ini
ke barat sampai sungai Cimanuk di penyebrangan di Karangsambung, selanjutnya
sungai Cimanuk ini sampai muaranya ke laut.
Peristiwa
“Pemberontakan Bagus Rangin” di sekitar Bantarjati-Jatitujuh pada awal abad
ke-19 agaknya menyiratkan wilayah tersebut sebagai bagian Kabupaten Indramayu
(Bengawan wettan).
Jika
dilihat pada era kekinian, sebenarnya wilayah Indramayu sekarang selain
bertambah, sebenarnya juga berkurang. Di bagian tenggara Kabupaten Indramayu,
sekitar perbatasan Kecamatan Bangodua, beberapa desa bukan lagi milik
Indramayu. Dulu, konon Kecamatan Jatitujuh dan sekitarnya pernah masuk dalam
wilayah Kabupaten Indramayu. Kini di wilayah perbatasan kultural Sunda-Jawa itu
sudah masuk Kabupaten Majalengka. Tidak heran jika hubungan emosional desa-desa
di sekitar itu tetap ada. Ragam budaya, seperti jenis kesenian dan
adat-istiadat pun menampakkan kecenderungan yang seragam. Tarling, topeng,
wayang kulit –yang merupakan jenis kesenian Jawa-pesisir Cirebon-Indramayu,
biasa dinikmati masyarakat Jatitujuh, yang juga menikmati kesenian Sunda.
Dasuki
(1977) menjelaskan setelah tahun 1910 daerah Indramayu sebelah barat sungai
Cimanuk dibagi dalam enam kedemangan, yaitu Kedemangan Kandanghaur, Losarang,
Pamayahan, Pasekan, Bangodua, Jatitujuh, dan Lelea. Adapun daerah Indramayu
sebelah timur Cimanuk dibagi dalam tiga kawedanan yaitu Kawedanan Indramayu,
Karangampel, dan Sleman (Jatibarang).
Di
wilayah selatan, barat daya hingga barat Kabupaten Indramayu, yang berbatasan
langsung dengan wilayah kultural Sunda, pengaruh kebudayaan Sunda sangat kuat.
Di sebagian desa di Kecamatan Terisi hingga Haurgeulis dan Gantar, pengaruh itu
malah memiliki asal-usul penduduk yang memang berasal dari wilayah Sunda.
Komunikasi sosial dan kultural itu terjalin hingga kini menjadi sebuah
akulturasi yang Dermayu. [Bagian sebelumnya klik disini]
Sumber : Komunitas Orang Indramayu [Facebook]
Sumber : Komunitas Orang Indramayu [Facebook]
Sejarah Indramayu
Bagian - 2
Kabupaten Indramayu yang termasuk wilayah Provinsi Jawa Barat, dengan wilayah darat 20.006,4 km2 merupakan wilayah yang cukup luas. Sumberdaya alamnya dari laut, sawah, dan hutan. Secara historis, selama ini Indramayu menyatakan diri memiliki akar sejarah dari Jawa Tengah (Bagelen) melalui tokoh Arya Wiralodra. Dalam beberapa sumber, ada yang menyebut tokoh ini utusan Demak (abad ke-16), ada pula yang menyebut Mataram (abad ke-17). Akar sejarah itulah yang menjadikan Indramayu bukanlah wilayah Sunda, meskipun berada di Jawa Barat yang mayoritas dihuni suku Sunda dan berbahasa Sunda. Meski demikian, perkembangan selanjutnya menunjukkan Indramayu juga tidak serupa dengan realitas sosio-kultur Jawa Tengah. Ada semacam sosio-kultur tersendiri yang “bukan Jawa” dan “bukan pula Sunda”. Bagi orang Indramayu, menyebut orang Jawa Tengah adalah “wong wetan”, sedangkan orang Pasundan adalah “wong gunung”. Sosio-kultur Indramayu itu menunjukkan karakter yang sebangun dengan Cirebon.
Kabupaten Indramayu yang termasuk wilayah Provinsi Jawa Barat, dengan wilayah darat 20.006,4 km2 merupakan wilayah yang cukup luas. Sumberdaya alamnya dari laut, sawah, dan hutan. Secara historis, selama ini Indramayu menyatakan diri memiliki akar sejarah dari Jawa Tengah (Bagelen) melalui tokoh Arya Wiralodra. Dalam beberapa sumber, ada yang menyebut tokoh ini utusan Demak (abad ke-16), ada pula yang menyebut Mataram (abad ke-17). Akar sejarah itulah yang menjadikan Indramayu bukanlah wilayah Sunda, meskipun berada di Jawa Barat yang mayoritas dihuni suku Sunda dan berbahasa Sunda. Meski demikian, perkembangan selanjutnya menunjukkan Indramayu juga tidak serupa dengan realitas sosio-kultur Jawa Tengah. Ada semacam sosio-kultur tersendiri yang “bukan Jawa” dan “bukan pula Sunda”. Bagi orang Indramayu, menyebut orang Jawa Tengah adalah “wong wetan”, sedangkan orang Pasundan adalah “wong gunung”. Sosio-kultur Indramayu itu menunjukkan karakter yang sebangun dengan Cirebon.
Secara
akar sejarah pula, beberapa daerah di Indramayu berkaitan dan banyak
dipengaruhi kerajaan lain di sekitarnya, seperti Cirebon dan Sumedanglarang.
Jika yang disebut wilayah kekuasaan Wiralodra sebagai Kabupaten Indramayu
seperti sekarang, tampaknya harus ditelisik lebih dalam. Ketika dinasti
Wiralodra berkuasa hingga pertengahan abad ke-19, peristiwa politik dan
keagamaan di Pulau Jawa sangat dinamis. Dimulai dari runtuhnya Majapahit
sebagai simbol kebesaran agama Hindu pada tahun 1527, dinamika itu tampak
dengan kemunculan kerajaan Islam, Demak, yang mampu berpengaruh pada Cirebon
dan Banten, serta dikuasainya Sundakelapa dari Pajajaran. Simbol kebesaran
Hindu lainnya dalam diri Pajajaran pun runtuh juga. Gegap politik dan kekuasaan
seperti itu sedikit banyak, tentu saja, memiliki pengaruh yang kuat pada
Cimanuk (Indramayu) sebagai wilayah kecil yang berada pada pusaran dinamika
itu. Berakhirnya era Hindu dan bangkitnya Islam juga menyentuh kehidupan
sosio-religi di wilayah tersebut. Ketika Mataram menguasai Jawa Barat selama 57
tahun (1620-1677), pengaruh kekuasaan itu sangat jelas pada daerah-daerah yang
sekarang bernama Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang, Bandung, Cirebon, dan beberapa
lainnya sebagai wilayah imperium Mataram.
Ketika
Wiralodra dianggap sebagai pendiri Kabupaten Indramayu dan 7 Oktober 1527
sebagai hari kelahiran Indramayu, legitimasi itu dilakukan pada era kekinian,
yakni berdasarkan Perda No. 02/1977 tanggal 24 Juni 1977. Nama Indramayu
sebagai wilayah kabupaten, sebenarnya berasal dari nama wilayah kecamatan yang
berada di kota (Sindang – Kota Indramayu), titik sentral kekuasaan dinasti
Wiralodra. Menurut Babad Dermayu yang ditulis tahun 1900, beberapa keturunan
Wiralodra menjabat beberapa jabatan penting di beberapa wilayah sebagai demang
maupun rangga, misalnya Raden Marngali Wirakusuma (Demang Bebersindang, mungkin
maksudnya Sindang), Nyayu Wiradibrata (rangga), Nyayu Malayakusuma (Demang
Plumbon), Nyayu Hekakusuma (Demang Anjatan), Nyayu Suradisastra (ulu-ulu),
Nyayu Hanjani (mantri tanah), Raden Kalid Wiradaksana (Demang Lohbener), Raden
Prawiradirja (Demang Losari), Raden Wirasentika (Demang Lohbener), Nyayu
Sastrakusuma (Jututulis Demang Brengenyeber), Nyayu Patimah (Demang Lelea),
Raden Wirasaputra (demang).
Klaim
bahwa nama wilayah sekabupaten dengan nama Indramayu, sebenarnya dilakukan
pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-19, seperti dalam Regerings Almanak voor
Nederlands Indie 1869 untuk menetapkan seorang bupati dengan wilayah kabupaten.
Pendapat ini sejalan dengan Dasuki (1977):
Kalau
yang dimaksud dengan daerah Dermayu dalam babad itu adalah suatu tempat yang
sekarang merupakan lokasi desa Dermayu, mungkin ada benarnya. Akan tetapi kalau
yang dimaksud dengan daerah Indramayu ialah daerah yang sekarang merupakan
daerah jurisdiksi Indramayu, sudah pasti tidak benar, sebab bertentangan dengan
pemberitaan dari beberapa sumber lain yang menyatakan bahwa sebelum Wiralodra
datang ke daerah Indramayu, di beberapa bagian daerah ini sudah ada manusia
yang berbudaya.
Yang
terjadi pada era dinasti Wiralodra, Indramayu cenderung identik pada wilayah yang
sekarang disebut sekitar Sindang, Kota Indramayu, hingga Lohbener. Pada kurun
waktu sebelumnya atau bersamaan, wilayah lain memiliki nama yang berbeda,
dengan tokoh pendiri (Ki Gede) yang berbeda pula. Beberapa hal bisa menjadi
argumentasi bahwa Kabupaten Indramayu bukanlah “Dermayu”-nya Wiralodra, dulu.
Naskah Wangsakerta menguraikan tentang mazhab-mazhab dalam Islam yang
berkembang di Pulau Jawa, termasuk wilayah Cirebon dan Indramayu seperti
dituliskan dalam Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara, parwa 2 sargah 4.
Beberapa Ki Gedeng (Ki Gede) dari Indramayu ada yang dikategorikan menganut
mazhab Syafi’i, tetapi ada pula yang Syi’ah yang diajarkan Syeh Lemahabang.
Penganut mazhab Syafi’i adalah Ki Gedeng Krangkeng, Ki Gedeng Dermayu, Ki Buyut
Karangamapel, Pangeran Losarang, Ki Gedeng Srengseng, dan Ki Gedeng
Pekandangan, sedangkan mazhab Syi’ah dianut oleh Ki Gedeng Junti. Data seperti
itu bukan hanya menyiratkan tentang perkembangan mazhab dalam Islam yang dianut
para tokoh masyarakat (Ki Gedeng, Ki Buyut) di Indramayu, akan tetapi lebih
dari itu menyiratkan adanya deskripsi kesejajaran tokoh-tokoh tersebut.
Penyebutan nama-nama Ki Gedeng atau Ki Buyut di enam daerah tersebut tampak
memiliki derajat yang sama. Antara Krangkeng, Dermayu, Karang Ampel, Srengseng,
Pekandangan, dan Junti tidak ada hirarkis. Hal itu bisa diinterprestasikan di
wilayah-wilayah tersebut dipimpin oleh Ki Gedeng atau Ki Buyut secara otonom
dan tidak menginduk pada Ki Gedeng atau Ki Buyut di sekitarnya. Ki Gedeng
Dermayu tidak membawahi Ki Gedeng Krangkeng, Karang Ampel, Srengseng,
Pekandangan, dan Junti, tetapi berdiri sejajar. Acuan kurun waktunya adalah
masa hidup Sunan Gunungjati dan Syeh Lemahabang (abad ke-16).
Sebelumnya
kesejajaran itu tampak pada cerita Ciungwanara pada zaman Pajajaran yang
menyebut-nyebut nama Indramayu, Junti, Anjatan, dan Kandanghaur, seperti dalam
Waosan Babad Galuh (Serengrana, 1280 H). Naskah lain pada zaman Pajajaran
menyiratkan adanya tokoh lain dan wilayah lain di Indramayu yang sudah disebut
keberadaannya sejak abad ke-15, seperti dalam buku Sunan Rahmat Suci Godog
(Deddy Effendy-Warjita, 2006). Disebut-sebut nama Raden Khalipah Kandangaur
yang bersahabat dengan Kean Santang (putra Prabu Sri Baduga Maharaja dengan
Subang Larang). Kean Santang adalah adik Pangeran Walangsungsang (Cakrabuana)
dan Nyi Mas Rarasantang (ibunda Sunan Gunungjati).
Pengaruh
Sunan Gunungjati, baik secara religi dan sosio-politik, amat kuat pada hampir
seluruh tokoh (Ki Gede) dari desa-desa kuna di Indramayu. Sekitar 70 Ki Gede,
dari Sukra hingga Kertasemaya, dari Bantarwaru hingga Singakerta, dimakamkan di
sekitar makam Sunan Gunungjati di Nur Giri Ciptarengga, Gunung Sembung, Cirebon
(Bambang Irianto, makalah 2007). Adanya makam Habib Keling di Desa Tanjakan
Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu menjadi catatan tersendiri, apakah
Habib Keling identik dengan Dipati Keling. Jika ya, menegaskan lagi adanya
relasi itu, sebab Dipati Keling merupakan sahabat Sunan Gunungjati yang ikut
serta dalam penyerangan ke Batavia tahun 1526. Ia salah seorang komandan, di
samping beberapa komandan lainnya seperti Dipati Cerbon, Dipati Cangkuang, dan
Faletehan. Sebelumnya Dipati Keling bersama 98 pengikutnya menyatakan masuk
Islam dan bergabung bersama Sunan Gungjati. Diperkirakan, Dipati Keling berasal
dari India, karena kulitnya hitam seperti orang Keling (Sunardjo 1983: 53,81).
Sangat mungkin, yang dimaksud makam tersebut adalah petilasan, sebab makam
Dipati Keling terdapat di Astana Gunungjati Cirebon berdekatan dengan Sunan
Gunung Jati. Jejak lain di Indramayu yakni adanya makam Pangeran Suryanegara
yang terdapat di Desa Bulak Kecamatan Jatibarang dan memiliki keturunan di
Indramayu (Raffan S. Hasyim, makalah 2007). Suryanegara adalah adik bungsu
Dipati Cerbon I atau Pangeran Swarga (putra Pangeran Pasarean dengan Ratu Mas
Nyawa).
Latar
tersebut merupakan dinamika penyebaran Islam yang dilakukan Sunan Gunungjati
dan para pengikutnya, baik ke pegunungan maupun ke pesisir. Naskah Purwaka
Caruban Nagari menyebutkan wilayah pesisir tersebut hingga ke pedalaman
Karawang dan Dermayu. Saat Sunan Gunungjati bertahta, jangkauan Cirebon dalam
penyebaran Islam mencapai 2/3 daerah di Jawa Barat. [Bagian Selanjutnya klik disini]
Sumber : Komunitas Orang Indramayu [Facebook]
Sumber : Komunitas Orang Indramayu [Facebook]
Sejarah Indramayu
Bagian - 1
Menurut Tim Panitia Peneliti Sejarah Kabupaten Indramayu bahwa hari jadi Indramayu jatuh pada tanggal 7 Oktober 1527 M yang telah disahka pada sidang Pleno DPRD Kabupaten Daerah tingkat II Indramayu pada tanggal 24 Juni 1977 dan ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Daerah tingkat II Indramayu Nomor 02 Tahun 1977 tentang Penetapan Hari Jadi Indramayu, dimana dalam Peraturan Daerah tersebut disebutkan bahwa hari jadi Indramayu ditetapkan jatuh pada tanggal 7 (tujuh) Oktober 1527 M hari Jumat Kliwon tanggal 1 Muharam 934 H.Dalam menentukan hari jadi tersebut tim panitia peneliti sejarah Indramayu berpegang pada sebuah patokan peninggalan jaman dulu dan atas dasar beberapa fakta sejarah yang ada, yaitu prasasti, penulisan-penulisan masa lalu, benda-benda purbakala/benda pusaka, legenda rakyat serta tradisi yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Proses Sejarah Indramayu Menurut Babad Dermayu penghuni partama daerah Indramayu adalah Raden Aria Wiralodra yang berasal dari Bagelen Jawa Tengah putra Tumenggung Gagak Singalodra yang gemar melatih diri olah kanuragan, tirakat dan bertapa.
Dengan didampingi Ki Tinggil
dan berbekal senjata Cakra Undaksana berangkatlah mereka ke arah barat untuk
mencari sungai Cimanuk. Suatu senja sampailah mereka di sebuah sungai,
Wiralodra mengira sungai itu adalah Cimanuk maka bermalamlah disitu dan ketika
pagi hari bangun mereka melihat ada orang tua yang menegur dan menanyakan
tujuan mereka. Wiralodra menjelaskan apa maksud dan tujuan perjalanan mereka,
namun orang tua itu berkata bahwa sungai tersebut bukan cimanuk karna cimanuk
telah terlewat dan mereka harus balik lagi ke arah timur laut. Setelah barkata
demikian orang tarsebut lenyap dan orang tua itu menurut riwayat adalah Ki
Buyut Sidum, Kidang Penanjung dari Pajajaran. Ki Sidum adalah seorang panakawan
tumenggung Sri Baduga yang hidup antara tahun 1474 - 1513.
Kemudian Raden Wiralodra dan
Ki Tinggil melanjutkan perjalanan menuju timur laut dan setelah berhari-hari
berjalan mereka melihat sungai besar, Wiralodra berharap sungai tersebut adalah
Cimanuk , tiba-tiba dia melihat kebun yang indah namun pemilik kebun tersebut
sangat congkak hingga Wiralodra tak kuasa mengendalikan emosinya ketika ia
hendak membanting pemilik kebun itu, orang itu lenyap hanya ada suara “Hai cucuku
Wiralodra ketahuilah bahwa hamba adalah Ki Sidum dan sungai ini adalah sungai
Cipunegara, sekarang teruskanlah perjalanan kearah timur, manakala menjumpai
seekor Kijang bermata berlian ikutilah dimana Kijang itu lenyap maka itulah
sungai Cimanuk yang tuan cari.”.
Saat mereka melanjutkan
perjalanan bertemulah dengan seorang wanita bernama Dewi Larawana yang memaksa
untuk di persunting Wiralodra namun Wiralodra menolaknya hingga membuat gadis
itu marah dan menyerangnya. Wiralodra mengelurkan Cakranya kearah Larawana,
gadis itupun lenyap barsamaan dengan munculnya seekor Kijang. Wiralodra segera
mengejar Kijang itu yang lari kearah timur, ketika Kijang itu lenyap tampaklah
sebuah sungai besar. Karena kelelahan Wiralidra tertidur dan bermimpi bertemu
Ki Sidum , dalam mimpinya itu Ki Sidum berkata bahwa inilah hutan Cimanuk yang
kelak akan menjadi tempat bermukim.
Setelah ada kepastian lewat
mimpinya Wiralodra dan Ki Tinggil membuat gubug dan membuka ladang, mereka
menetap di sebelah barat ujung sungai Cimanuk. Pedukuhan Cimanuk makin hari
makin banyak penghuninya. diantaranya seorang wanita cantik paripurna bernama
Nyi Endang Darma. Karena kemahiran Nyi Endang dalam ilmu kanuragan telah
mengundang Pangeran Guru dari Palembang yang datang ke lembah Cimanuk bersama
24 muridnya untuk menantang Nyi Endang Darma namun semua tewas dan dikuburkan
di suatu tempat yang sekarang terkenal dengan “Makam Selawe”.
Untuk menyaksikan langsung
kehebatan Nyi Endang Darma, Raden Wiralodra mengajak adu kesaktian dengan Nyi
Endang Darma namun Nyi Endang Darma kewalahan menghadapi serangan Wiralodra
maka dia meloncat terjun ke dalam Sungai Cimanuk dan mengakui kekalahannya.
Wiralodra mengajak pulang Nyi Endang Darma untuk bersama-sama melanjutkan
pembangunan pedukuhan namun Nyi Endang Darma tidak mau dan hanya berpesan,
“Jika kelak tuan hendak memberi nama pedukuhan ini maka namakanlah dengan nama
hamba, kiranya permohonan hamba ini tidak berlebihan karena hamba ikut andil
dalam usaha membangun daerah ini”.
Untuk mengenang jasa orang
yang telah ikut membangun pedukuhannya maka pedukuhan itu dinamakan “DARMA AYU”
yang di kemudian hari menjadi “INDRAMAYU”.
Berdirinya pedukuhan Darma
Ayu memang tidak jelas tanggal dan tahunnya namun berdasarkan fakta sejarah Tim
Peneliti menyimpulkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada jum’at kliwon, 1
sura 1449 atau 1 Muharam 934 H yang bertepatan dengan tanggal 7 Oktober 1527 M.
1.3 Catatan proses Indramayu
lainnya
Cerita pedukuhan Darma Ayu
adalah salah satu catatan sejarah daerah Indramayu namun ada beberapa catatan
lainnya yang juga berkaitan dengan proses pertumbuhan daerah Indramayu antara
lain:
a. Berita yang bersumber pada
Babad Cirebon bahwa seorang saudagar China beragama islam bernama Ki Dampu
Awang datang ke Cirebon pada tahun 1415. Ki Dampu Awang sampai di desa Junti
dan hendak melamar Nyi Gedeng Junti namun ditolak oleh Ki Gedeng Junti, disini
dapat disimpulkan bahwa Desa Junti sudah ada sejak tahun 1415 M .
b. Catatan dalam buku Purwaka
Caruban Nagari mengenai adanya Desa Babadan,dimana pada tahun 1417 M Sunan
Gunung Jati pernah datang ke Desa Babadan untuk mengislamkan Ki Gede Babadan
bahkan menikah dengan puteri Ki Gede Babadan .
c. Di tengah kota Indramayu
ada sebuah desa yang bernama Lemah Abang, nama itu ada kaitannya dengan nama
salah seorang Wali Songo Syeikh Siti Jenar yang dikenal dengan nama Syeikh
Lemah Abang, mungkin dimasa hidupnya (1450 - 1406) Syeikh Lemah Abang pernah
tinggal di desa tersebut atau setidak-tidaknya dikunjungi olehnya untuk
mengajarkan agama islam.
Setelah bangsa Portugis pada
tahun 1511 menguasai Malaka antara 1513-1515 pemerintah Portugis mengirimkan
Tom Pires ke Jawa . Dalam catatan harian Tom Pires terdapat data- data bahwa :
> Tahun 1513-1515
pedukuhan Cimanuk sudah ada bahkan sudah mempunyai pelabuhan
> Pedukuhan Cimanuk ada
dalam wilayah kerajaan sunda (Pajajaran) .
Melihat bukti-bukti atau
sumber di atas diperkirakan pada akhir abad XVI M daerah Indramayu sekarang
atau sebagian dari padanya sudah dihuni manusia. [Bagian selanjutnya klik disini]
Menurut Tim Panitia Peneliti Sejarah Kabupaten Indramayu bahwa hari jadi Indramayu jatuh pada tanggal 7 Oktober 1527 M yang telah disahka pada sidang Pleno DPRD Kabupaten Daerah tingkat II Indramayu pada tanggal 24 Juni 1977 dan ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Daerah tingkat II Indramayu Nomor 02 Tahun 1977 tentang Penetapan Hari Jadi Indramayu, dimana dalam Peraturan Daerah tersebut disebutkan bahwa hari jadi Indramayu ditetapkan jatuh pada tanggal 7 (tujuh) Oktober 1527 M hari Jumat Kliwon tanggal 1 Muharam 934 H.Dalam menentukan hari jadi tersebut tim panitia peneliti sejarah Indramayu berpegang pada sebuah patokan peninggalan jaman dulu dan atas dasar beberapa fakta sejarah yang ada, yaitu prasasti, penulisan-penulisan masa lalu, benda-benda purbakala/benda pusaka, legenda rakyat serta tradisi yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Proses Sejarah Indramayu Menurut Babad Dermayu penghuni partama daerah Indramayu adalah Raden Aria Wiralodra yang berasal dari Bagelen Jawa Tengah putra Tumenggung Gagak Singalodra yang gemar melatih diri olah kanuragan, tirakat dan bertapa.
Suatu saat Raden Wiralodra
tapa brata dan semedi di perbukitan melaya di kaki gunung sumbing, setelah
melampau masa tiga tahun ia mendapat wangsit “Hai wiralodra apabila engkau
ingin berbahagia berketurunan di kemudian hari carilah lembah Sungai Cimanuk.
Manakala telah tiba disana berhentilah dan tebanglah belukar secukupnya untuk
mendirikan pedukuhan dan menetaplah disana, kelak tempat itu akan menjadi subur
makmur serta tujuh turunanmu akan memerintan disana”.
Sumber : Komunitas Orang Indramayu [Facebook]
Membuat Program Bintang Dengan Java
Apa kabar semuanya, saya harap kabar kalian baik-baik saja yaa
Untuk postingan kali ini saya akan berbagi cara membuat sebuah segitiga bintang dengan menggunakan bahasa pemrogramman Java, untuk membuat program ini kalian bisa mengunakan aplikasi Eclipes atau Netbeans, kalian bisa memilih mana saja yang kalian suka, tapi untuk di postingan kali ini saya menggunakan aplikasi Netbeans. Oke langsung aja yaa
Pertama coba kalian buka aplikasinya Eclipse atau Netbeans nya, selanjutnya kalian copy/ paste kode yang ada di bawah ini, dan sesuaikan penempatanya dengan yang ada di komputer kalian
Kode 1:
public class Program_Bintang {
/**
* @param args the command line arguments
*/
public static void main(String[] args) {
// TODO code application logic here
int x=10;
for (int i=1;i<=10;i++){
for(int j=1;j<=i;j++){
System.out.print("*");
}
System.out.println();
}
}
Hasil:
Kode 2:
public class Program_Bintang {
/**
* @param args the command line arguments
*/
public static void main(String[] args) {
// TODO code application logic here
int x=5;
for (int i=1;i<=10;i++){
for(int j=9;j>=i;j--){ //spasi
System.out.print(" ");
}
for(int k=1;k<=i;k++){ //bintang
System.out.print("*");
}
for (int l=1;l<=i-1;l++){
System.out.print("*");
}
System.out.println();
}
}
}
Kalian juga bisa mengubah tanda "*" tersebut dengan "#" maka hasilnya seperti ini
Kode 3:
public class Program_Bintang {
/**
* @param args the command line arguments
*/
public static void main(String[] args) {
// TODO code application logic here
int x=5;
for (int i=1;i<=10;i++){
for(int j=9;j>=i;j--){ //spasi
System.out.print(" ");
}
for(int k=1;k<=i;k++){ //bintang
System.out.print("#");
}
for (int l=1;l<=i-1;l++){
System.out.print("#");
}
System.out.println();
}
}
}
Semoga bermanfaat yaaa
Untuk postingan kali ini saya akan berbagi cara membuat sebuah segitiga bintang dengan menggunakan bahasa pemrogramman Java, untuk membuat program ini kalian bisa mengunakan aplikasi Eclipes atau Netbeans, kalian bisa memilih mana saja yang kalian suka, tapi untuk di postingan kali ini saya menggunakan aplikasi Netbeans. Oke langsung aja yaa
Pertama coba kalian buka aplikasinya Eclipse atau Netbeans nya, selanjutnya kalian copy/ paste kode yang ada di bawah ini, dan sesuaikan penempatanya dengan yang ada di komputer kalian
Kode 1:
public class Program_Bintang {
/**
* @param args the command line arguments
*/
public static void main(String[] args) {
// TODO code application logic here
int x=10;
for (int i=1;i<=10;i++){
for(int j=1;j<=i;j++){
System.out.print("*");
}
System.out.println();
}
}
Hasil:
Kode 2:
public class Program_Bintang {
/**
* @param args the command line arguments
*/
public static void main(String[] args) {
// TODO code application logic here
int x=5;
for (int i=1;i<=10;i++){
for(int j=9;j>=i;j--){ //spasi
System.out.print(" ");
}
for(int k=1;k<=i;k++){ //bintang
System.out.print("*");
}
for (int l=1;l<=i-1;l++){
System.out.print("*");
}
System.out.println();
}
}
}
Hasil :
Kode 3:
public class Program_Bintang {
/**
* @param args the command line arguments
*/
public static void main(String[] args) {
// TODO code application logic here
int x=5;
for (int i=1;i<=10;i++){
for(int j=9;j>=i;j--){ //spasi
System.out.print(" ");
}
for(int k=1;k<=i;k++){ //bintang
System.out.print("#");
}
for (int l=1;l<=i-1;l++){
System.out.print("#");
}
System.out.println();
}
}
}
Hasil :
Semoga bermanfaat yaaa
Kasdul - Salah Bahasa
Catatan : “Beli” dalam bahasa
jawa indramayu artinya “Tidak” / “Engga” dan di indramayu lebih sering
menggunakan kata “Beli” dibanding “Ora” untuk bahasa penolakan dalam
percakapan-sehari-harinya
Salah
Bahasa
Di pagi hari yang cerah si kasdul
mulai bersiap-siap untuk menyiapka berbagi pelengkapan sekolahnya, karena si
kasdul akan mulai ikut ujian akhir semester yang akan di laksanakan selama
seminggu. Setelah berbagai persiapan sudah selesai si kasudul pun berangkat
kesekolah dan tak lupa salaman sama si emaknya
Kasdul: mak kasdul berangkat dulu
yaa
Emak : iya, hati-hati di jalan ya
dul
Kasdul: iya mak, assalamualaikum
Emak : walikumsalam
Dan kasdul pun berangka sekolah
dengan berjalan kaki, dan betemu dengan teman-temannya yang sama-sama berangkat
sekolah juga, lalu setelah mereka sampai sekolah dan masuk kelas, pak guru pun memberikan
pengumuman penting bagi para siswanya. Dan pengumumannya itu berisi bahwa
sekolah akan mengadakan study tour bersama ke Borobudur untuk mengisi libur
sekolah setelah ujian, jadi tidak bersifat wajib. Nah disitu si kasdul sangat
bersemangat sekali agar bisa cepat-cepat pulang dan memberitahukan tentang hal
itu kepada emaknya. Dan setelah pengumumam itu selesai ujian pun di mulai
hingga akhirnya bel pun berbunyi yang menandakan ujian berakhir, karena
ujiannya cuma satu mata pelajaran, maka si dul pun bergegas pulang dan setelah
sampai di rumah dia pun langsung mencari emaknya
Kasdul : makkkk…..
Emak : iya kenapa dul ?
Kasdul : tadi pas kasdul di
sekolah, kata pak guru sekolah mau mengadakan study
tour bersama ke Borobudur mak,
kasdul boleh ikut yaaaa.. plisss
Emak: emang kapan study tour nya
?
Kasdul : habis ujian mak, boleh
ya mak boleh…
Emak : ya udah iya (kasihan
karena dari dulu kasdul belum pernah liburan)
Kasdul: makasih makkk…
Emak : iya sama-sama, tapi
belajar yang bener yaa (di wanti-wanti)
Kasdul : oh oke siap mak….
Dan setelah itu hari demi hari
berganti, berbagain ujian pun telah di lewati oleh kasdul hingga pembagian
rapot. Dan hari yang di tunggu-tungu kasdul pun akhirnya tiba juga yaitu pergi
study tour, seperti pada umumnya sebelum pergi study tour peserta yang ikut
pergi harus di absen dulu, demi mengetahui data jumlah peserta yang ikut pada
acara study tour tersebut. Setelah absensi selesai bus yang membawa rombongan study
tour pun berangkat menuju daerah Yogyakarta, selama tujuh jam lamanya
perjalanan dari daerah Indramayu dimana kasdul tinggal dan bersekolah, hingga
akhirnya sampai di tempat wisata candi Borobudur. Disitu kasdul merasa lega dan
senang dan tanpa hambatan selama perjalanan menuju Borobudur, lalu pak guru pun
memberikan sedikit pengumuman tentang apa-apa yang harus dilakukan dan tidak
boleh di lakukan selama berada di kawasan candi Borobudur. Dan setelah
pengumuman tersebut selesai para peserta pun keluar dari bus dan menuju tempat
pembelian tiket, setelah ketua rombongan membeli tiket para peserta pun
langsung masuk ke kawasan candi Borobudur. Bagi kasdul yang baru pertama kali
merasakan liburan ke kawanan candi Borobudur, merasa sangat senang dan bangga
bisa melihat candi sebesar itu apa lagi dari dulu dia belum pernah melihat
bangunan yang besar-besar di desannya. Setelah 3 jam berada di kawasan candi
Borobudur sang ketua rombongan pun menginstruksikan bahwa romobongan dari SDN
Jambe 4 (nama sekolah kasdul). Harus segera keluar dari kawasan candi Borobudur
karena akan melanjutkan perjalanan ke restaurant untuk makan siang. Begitu
mendengar kata-kata tersebut kasdul dan teman-temannya bergegas keluar dan
setelah keluar menuju bus ternyata belum semua rombongan kumpul, jadi kasdul
dan teman-temannya harus menunggu peserta lain. Sambil duduk-duduk di depan
tempat penjualan oleh-oleh kasdul dan teman-temanya, tiba-tiba di datangi oleh
penjual dagangan keliling yang bisasa berjulan di kawasan itu, yang menjajakan
berbagai kerajinan seperti belangko, pedang samurai ukuran kecil dan lainnya.
Penjual : dek ini dek pedang –
pedangan cuma sepulu ribuan untuk yang kecil dan
yang gede dua puluh ribuan.. nih
coba adek mau pilih yang mana
teman kasdul 1: gak mas, gak beli
(menggunakan bahasa Indonesia )
penjual: adek ini mau gak, murah
kok deh..
teman kasdul 2 : gak mas, udah
ada di rumah punya kakak saya
penjual: oh gitu ya, ya udah deh
buat adek ini, mas kasih diskon jadi yang kecil lima
ribu
aja dan yang gede lima belas ribuan aja
kasdul : beli mas beli mas (maksudya
menolak dan dikira bahasa jawanya sama )
penjual : oh mau beli yang mana
dek ?
kasdul : beli mas, kasdul wis
ngomong beli ya beli
penjual: iya mau beli yang mana ?
kasdul: di bilangin kon beli kah
beli (sampai kasdul berdiri dan sedikit berlari)
penjual: iya mau ya mana dek, ga
usah lari ( dia pun ikut berdiri dan berlari
ngejar kasdul)
Teman kasdul 1 : (Dia berdiri dan
mengejar) mas bentar –bentar, dia bilang “beli “
itu
maksudnya “engga”. Dia pikir bahasa jawa nya sama, jadi dia
ngomong “beli”.
Penjual : oh gitu yaa, ya udah
maaf yaa dek mas ga tau
Kasdul : selamet-selamet… (sambil
mengelus dada dan melihat dari kejauhan)
Habis kejadian itu kasdul dan
teman-temannya tertawa bersama, dan menjadi peristiwa yang tak terlupakan, dan
khusus buat kasdul itu menjadi pelajaran agar kita lebih bisa membaca situasi
dimana kita menginjakan kaki.
Subscribe to:
Posts (Atom)
100 Universitas Terbaik Dunia 2019 / 100 Best Universities In The World 2019 New Update
Update pada tanggal 29 Agustus 2019 Ranking Dunia Universitas 1 Harvard University 2 Stanford U...
-
Apa kabar semuanya kali ini saya akan membagikan bagaimana caranya menghubungkan/ mengkoneksikan antara Database MySql dan Pemrogramman Java...
-
Assalamuaikum semua nya, semoga kalian baik-baik semuanya yaa. Pada postingan kali ini penulis ingin membagikan sebuah kisah yang saya ra...
-
Update pada tanggal 23 Agustus 2019 Ranking Asia Ranking Dunia Universitas 1 33 Tsinghua University /...